<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Sekolah Untuk Hidup

Sekolah Untuk Hidup

“Lucilius, Non Scholae sed Vitae Discimus”( Kita Sekolah Bukan Untuk Belajar “Pintar”, tetapi Untuk Hidup). Demikian menurut Saneca seorang filsuf dan pujangga dari abad ke-3 SM. Pun sama halnya yang di katakan oleh Izzet Begovic, “sekolah hanya mengajak kita untuk latihan menjadi pintar tapi belum tentu dididik menjadi baik.” Seorang siswa boleh saja menguasai ilmu kimia, fisika, matematika atau ilmu lainnya. Dari kepintarannya itu membuatnya dihargai dan menjadi kaya, tapi semua itu tidak memberikan jaminan bahwa siswa tersebut akan menjadi baik dan mau berbagi antar sesamanya.

Gagasan-gagasan diatas mungkin akan mengingatkan kita pada komunitas anak rimba di suku anak dalam Jambi. Mereka mengatakan sekolah formal mengajak mereka untuk menjadi orang kaya dan tidak untuk menjadi baik dan menuntut mereka untuk keluar dari akar budaya komunitas suku anak dalam.

Dari gagasan-gagasan ini pun kita perlu memperbaiki pemahaman bahwa sekolah hari ini bukan untuk memproduksi orang-orang pintar atau orang-orang cerdas pada bidang tertentu (meskipun zaman menuntutnya) tetapi sekolah sebaiknya memprioritaskan untuk memproduksi orang-orang berkepribadian baik dan mau berbagi sehingga kita tidak perlu repot-repot mempersiapkan diri menghadapi UAN/UN dan mengkhawatirkan Nilai Standar Nasional yang sering hasilnya sangat “mengenaskan” itu karena nilai yang ingin di capai adalah “apakah siswa-siswa itu kelak akan menjadi orang yang baik?”

Sekolah dan Banyaklah Membaca

“ Pepatah mengatakan buku itu jendela dunia. Itu berlaku untuk dunia melek huruf. Yang lebih pentinglagi, membaca adalah kunci jendelanya. Orang yang tidak dapat baca-tulis-hitung sama seperti orang buntung kaki yang ingin berkelana mengelilingi dunia. Atau sama seperti orang yang punya mata tapi tidak dapat melihat. Bila banyak orang buta berkumpul, memang satu sama lain tidak akan menyadari ada yang kurang dalam kehidupan mereka…”

Demikian kutipan dari artikel yang di ungkapkan oleh Butet Manurung (Saur Marlina Manurung) salah seorang pelopor berdirinya Sokola atau sekolah untuk anak-anak Rimba di Hutan Bukit Dua Belas Jambi.

Buku memang tidak bisa di pisahkan dengan sekolah untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru. Pengetahuan tentang hubungan alam dengan manusia, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya. Dari buku, semua orang mendapatkan pengetahuan-pengetahuan untuk mempertahankan hidup, bukan untuk merampas dan bahkan menguasai hidup orang lain.

Dari buku pula semua orang bisa mensituasikan keadaan dan bukan di situasikan oleh keadaan. Maksudnya, kurikulum kita hari ini dijamin tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan kita karena kurikulum kita memproyeksikan semua orang pada lapangan pekerjaan yang sudah ada bahkan terikat formal. Membaca buku mungkin akan memberi sedikit situasi yang berbeda dari sekarang, dimana kita (sebagai pembelajar) yang mensituasikan keadaan atau yang menciptakan lapangan pekerjaan.

:Marlin (Anggota Forum)
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. MGMP BAHASA INGGRIS . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger